kali ini kita akan membahas tentang lengsir wengi, awalnya tulisan ini telah saya buat tapi ternyata tidak ada dicatatan, mungkin saja terhapus secara tidak sengaja dan juga ada sebuah request yang meminta untuk ditulisnya tentang lengsir wengi. (sepertinya akan menjadi tulisan yang lumayan panjang) maav bila tulisnnya agak berbeda dengan tulisan sebelumnya (bagi yang pernah baca) karena saya tidak bisa membat tulisan yang sama persis dengan tulisan sebelumnya.
lengsir wengi adalah suatu sastra jawa yang telah lama beredar. ia termasuk kedalam macapat. Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran. Sedangkan macapat terbagi tiga dan setiap bagian masih terbagi lagi dalam sebuah metrum. pembagianya sebagai berikut : tembang cilik / sekar alit / tembang kecil (Dhandhanggula, Maskumambang, Sinom, Kinanthi, Asmarandana, Durma, Pangkur, Mijil, dan Pocung), kemudian Tembang tengahan / Sekar madya (Jurudhemung, Wirangrong, Balabak, Gambuh, dan Megatruh), dan Tembang gedhé / Sekar ageng (Girisa).
berikut ini lyric dari tembang lengsir wengi.
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno…
Ojo tangi nggonmu guling…
Awas jo ngetoro…
Aku lagi bang wingo wingo…
Jin setan kang tak utusi…
Dadyo sebarang…
ojo lelayu sebet…bahasa indonesianya :
Menjelang malam, dirimu mulai sirna...
Jangan terbangun dari tidurmu...
Awas, jangan terlihat...
Aku sedang gelisah...
Jin setan ku perintahkan
Jadilah apapun juga,
Namun jangan membawa maut...
nah lengsir wengi masuk kedalam tembang cilik / sekar alit dan masuk kedalam metrum Durma. Durma, disebut sebagai bagian Macapat yang mencerminkan suasana/sifat keras, sangar, dan suram. Bahkan kadang mengungkapkan hal-hal yg angker dalam kehidupan atau kadang menggambarkan keteguhan. mungkin karena alasan ini dan lyric yang agak membuat bulu kuduk merindinglah mengapa lagu ini dijadikan lagu untuk memanggil kuntilanak. sebenernya ngga ada kata kuntilanak dalam lyric ini, namun sesuatu itu kan tergantung pada maksud dan tujuannya.
kurang lengkap rasanya jika kita membahas lengsir wengi tanpa membahas tentang kuntilanak, ibaratnya seperti kita membahas cara membuat donat tanpa membahas apa itu donat, hihihi...analogi yang aneh.kuntilanak adalah hantu dengan sosok perempuan dengan muka berwarna pucat serta memakai daster berwarna putih dan berambut panjang. kuntilanak sering terlihat berada di kuburan, maupun diantara pepohonan, namun tidak jarang juga ia terlihat diatas pohon atau melayang dari pohon-kepohon. dengan mukanya yang pucat dan suaranya ketawanya yang khas (hihihi) kuntilanak patutlah kita acungi jempol untuk keseramannya. Bahkan ia adalah salah satu primadona baik di televisi, novel, ataupun layar lebar.
ada sesuatu yang spesial dengan hantu yang satu ini. konon nama dari hantu ini dijadikan nama suatu kota di indonesia , yaitu kota pontianak (kuntilanak dalam bahasa melayu adalah pontianak atau puntianak) nah udah tau kan kota yang saya maksud?.
Kota Pontianak mendapat namanya karena konon Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak, diganggu hantu ini ketika akan menentukan tempat pendirian istana. begini ceritanya :
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah Pendiri dan Sultan pertama Kerajaan Pontianak. Ia dilahirkan pada tahun 1142 Hijriah / 1729/1730 M, putra Al Habib Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal Arab.
Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari tempat kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu dzuhur mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong. Namun Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan salat zuhur itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor. Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang, dimana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak. Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu. Setelah itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Pada suatu malam ia diganggu kembali oleh hantu pontianak. dan menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, (konon Syarif abdurrahman menembakan meriam untuk mengusir hantu itu dan tempat jatuhnya meriam tersebutlah yang dijadikan sebagai istana) maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Mesjid Jami dan Keraton Kadariah.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya'ban 1192 Hijriah,bertepatan dengan hari Senin dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie.kabarnya didaerah tersebut memang banyak terdapat kuntilanak disini saya lampirkan artikel dari kompas.com :
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Severianus Endi PONTIANAK, KOMPAS.com - Pengalaman ini tak akan pernah hilang dari ingatan Agus Wandi (25), seorang satpam yang bekerja di kantor sebuah perusahaan swasta di Kota Pontianak. Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, sesosok kuntilanak melayang sambil menyeret peti mati dengan rantai.
"Waktu itu, sekitar jam 4 subuh, saya bersama lima teman nongkrong di jembatan Simpang Benteng di Kota Mempawah," ujar Agus kepada Tribun, Minggu (12/9/10).
Agus kelahiran Kota Mempawah, ibu kota Kabupaten Pontianak, sekitar 67 kilometer dari Kota Pontianak. Sekitar 1,5 tahun lalu, dia masih tinggal di Mempawah dan belum bekerja sebagai satpam.
Dia dan teman-temannya sering nongkrong di jembatan yang terletak di daerah yang biasa disebut Simpang Benteng. Meski namanya Simpang Benteng, tutur Agus, tapi daerah itu bukanlah persimpangan. Memang, sekitar 50 meter dari tempat itu, dijumpai persimpangan tiga, yang satu di antaranya merupakan akses menuju Kota Singkawang.
Di areal yang diyakini angker dan ada penunggunya itu, berdiri sebuah jembatan besi untuk melintasi anak sungai yang memotong, disebut Jembatan Benteng. Nah, di situlah ada belokan mematah yang sangat tajam menuju ke kanan, jika ditempuh dari arah Kota Pontianak.
Meski letaknya sudah di Kota Mempawah, areal itu gelap di malam hari. Kala itu, ujar Agus, di sekitar Simpang Benteng, ada tiga buah rumah toko (ruko) di kiri jalan. Kemudian di sebelah kanannya, ada sebuah rumah penduduk.
"Agak sepi, karena pemukiman penduduk agak ke arah dalam. Lagi pula sekitar beberapa puluh meter dari jembatan itu, ada kuburan," kata dia.
Malam itu, seingat Agus, merupakan malam Jumat. Dia dan lima temannya nongkrong di Jembatan Benteng, menemani seorang rekannya yang berjualan bensin eceran di pinggir jembatan itu.
"Kalau malam sering pengendara melintas, dan kadang-kadang mereka beli bensin juga," ujar Agus.
Menjelang pukul 04.00, dia dan lima temannya melihat sesosok putih melintasi tempat itu. Agus yakin, dia tidak salah lihat. Sosok itu persis gambaran kuntilanak yang sering diceritakan orang- orang.
"Pakaiannya putih, rambutnya panjang hingga kaki. Saya dan kelima teman melihat sejelas- jelasnya dalam jarak sekitar 10 meter," ucap Agus, yang mengaku masih merinding jika mengingatnya.
Sosok kuntilanak itu melintas dengan cara melayang. Dia tampak menyerat peti mati dengan rantai. Tanpa suara, karena dalam penglihatan mereka, sosok kuntilanak dan peti mati itu seperti melayang.
"Kami segera lari menjauh menuju ruko yang ada di situ. Kuntilanak itu melayang ke arah kuburan. Setelah hilang dari pandangan kami, bensin eceran jualan teman saya segera dikemas, dan kami kabur naik sepeda motor, pulang," tutur Agus.
Sebelumnya, Agus mengaku pernah diceritakan oleh para orangtua, kalau Simpang Benteng itu angker dan ada penunggunya. Dia pun pernah mendengar cerita, sering muncul kuntilanak menyeret peti, pertanda akan ada korban jiwa esok harinya.
"Ini benar terjadi, besoknya sekitar pukul 10 pagi, saya dengar ada pengendara sepeda motor yang kecelakaan dan meninggal seketika di Jembatan Benteng. Saya dan teman-teman sampai tiga pekan tak berani muncul ke situ," ucap Agus.
Menurut catatan Tribun Pontianak, daerah tersebut memang rawan kecelakaan. Meski dalam tahun ini tidak terjadi korban jiwa, tapi kecelakaan kecil nyaris terjadi tiap pekan. Jalan dengan belokan mematah yang cukup tajam, dan lagi ruas itu merupakan lintasan akses dari Kota Pontianak menuju Singkawang, dan sebaliknya. (*)
(ini linknya http://regional.kompas.com/read/2010/09/13/08135918/Agus.Meihat.Kuntilanak.Seret.Peti.Mati)